Selasa, 03 November 2009

Memberdayakan Kaum Urban...

Fenomena urban -pendatang baru di perkotaan-pun tidak dapat dihindari dan sulit dibendung saat arus balik lebaran terjadi. Pemerintah kota yang menjadi sasaran urban seperti Jakarta, Surabaya, Bandung, dan kota lain, sering tidak berdaya membendung banyaknya para urban ini.

Langkah sweeping identitas serta operasi bentuk lain pun tidak bisa membendung kenekatan para urban untuk masuk kota.

Puluhan ribu penduduk dari berbagai pelosok desa, menyerbu pusat kota untuk mengadu nasib. Para urban berharap mendapat pekerjaan layak yang bisa meningkatkan taraf hidup. Tidak seperti yang dialami di desa. Pasalnya, para urban ini tidak mendapat pekerjaan atau terlalu kecil pendapatan dari hasil kerja di pedesaan. Mereka berasumsi bekerja di perkotaan bisa menghasilkan uang besar dibandingkan aktivitas di kampung halaman.

Faktor ekonomi masih merangsang penduduk desa untuk masuk kota metropolitan yang penuh dengan berbagai aktivitas, mulai perdagangan, pembangunan fisik, industri, perkantoran, bidang jasa, serta sektor lain yang bisa menjadi lahan pekerjaan.

Di pedesaan lapangan kerja sangat terbatas dan masih didominasi pertanian yang akhir-akhir ini makin tidak diminati para pemuda desa. Bekerja di sektor pertanian sangat kecil hasilnya. Perimbangan antara biaya pengolahan lahan-sawah dan ladang- tidak sebanding dengan harga jual. Sementara bidang usaha pada sektor lain masih sulit berkembang dan belum merata hingga pedesaan.

Memang, hampir 75 persen investasi dalam berbagai bidang usaha masih berada di perkotaaan. Sehingga peredaran uang pun masih terpusat di kota-kota besar, seperti Surabaya dan Jakarta. Sirkulasi uang di perkotaan inilah yang menjadi rebutan para urban untuk berebut mengadu nasib.

Dilihat dari sisi ini, urbanisasi merupakan proses alam yang berlangsung karena kondisi sosial menuntut terjadinya perpindahan penduduk dari desa ke kota. Sebab hidup di perkotaan lebih menjanjikan penduduk untuk meningkatkan taraf hidupnya. Meskipun tidak sedikit warga kota yang juga hidup di bawah layak dengan pendapatan kecil.

Derasnya urbanisasi memang memunculkan berbagai konsekuensi. Salah satunya adalah jumlah penduduk kota semakin padat, Jumlah penduduk urban berkisar antara 8-10 % persen dari jumlah penduduk setiap pasca-Lebaran.

Problem dan beban kota akan semakin bertambah seperti tingginya angka kriminalitas, pelacuran, permasalahan air bersih, perumahan dan sebagainya. Problem kemacetan lalu lintas, melubernya PKL, perumahan di atas stren kali, banjir, sampah yang tidak terkendali, serta problem kota lain merupakan social cost yang harus ditanggung kota tujuan kaum urban.

Jika urban tidak terkendali maka kemampuan daya dukung alam (carrying capacity) tidak memadai dengan jumlah penduduk yang terus bertambah. Misalnya, luas Surabaya itu sekitar 32.636.68 hektar. Jika penduduknya mencapai 5 juta jiwa maka setiap jiwa hanya disuplai lingkungan alam seluas 650 meter persegi. Kondisi ini akan berpengaruh terhadap kesehatan, problem kemiskinan dan menimbulkan makin beratnya problem kota..

Berdasarkan survei Badan Koordinasi Keluarga Berencana (BKKB) Kota Surabaya tentang kemiskinan di Surabaya sampai tahun 2005, menunjukkan dua tahun terakhir angka kemiskinan di Surabaya meningkat signifikan, yakni 14, 85 persen. Pada tahun 2003, jumlah Kepala Keluarga (KK) miskin 90.084 KK. Sedangkan pada tahun 2005 meningkat menjadi 103.462 KK. Begitu juga dengan angka jiwa miskin. Pada tahun 2003 jumlah jiwa miskin di Surabaya 323.789 jiwa, pada tahun 2005 menjadi 2.367.849 jiwa atau meningkat 13.81 persen.

Namun, fenomena ini tidak menjadi pertimbangan utama bagi kaum urban. Penduduk desa tetap tergiur dengan kehidupan ekonomi di kota-kota besar. Karena hanya melihat enaknya, hantu kegagalan para urban dalam meniti hidup tidak dipertimbangkan. Padahal mengadu nasib di kota besar diperlukan kemampuan-kemampuan untuk mendukung usahanya mencari kerja, seperti pendidikan yang menunjang, keahlian, dan kenalan yang lebih dulu berhasil.

Di antara faktor pendorong (push factor) derasnya urbanisasi adalah adanya kesenjangan produktivitas antar sektor pertanian dengan industri yang semakin menganga lebar. Hasil pertanian masyarakat tidak sebanding dengan hasil produksi sektor industri. Padahal 80 persen penduduk masih hidup secara agraris.

Kesenjangan ini memunculkan kemiskinan menjadi terpusat di pedesaan yang mayoritas penduduknya masih bergelut di sektor pertanian yang kini makin memprihatinkan. Pengangguran di desa semakin meningkat seiirng bertambahnya populasi penduduk setiap tahun, di tambah tidak terciptanya lapangan pekerjaan sektor riil di pedesaan.

Pendidikan yang belum merata juga turut andil peningkatan jumlah kaum urban di kota-kota besar setiap tahunya. Selain itu, tingkat pendidikan masyarakat desa juga masih rendah. Sedangkan penduduk yang telah mengenyam pendidikan tinggi dan bisa berkreasi menciptakan lapangan pekerjaan senang hidup di kota.

Cukup kompleks langkah yang harus dilakukan untuk menanggulangi arus urbanisasi. Paling tidak ada tiga pilar utama dalam pelaksanaan program penanggulangan urbanisasi. Pertama, mengembangkan kesempatan-kesempatan ekonomi bagi kelompok masyarakat miskin di pedesaan. Pemerintah perlu membuat kebijakan yang bisa merelokasi atau mengembangkan pusat perdagangan dan industri hingga ke pedesaan. Dengan langkah ini lapangan kerja di desa akan meningkat dan angka pengangguran jelas menurun.

Kedua, memberdayakan kapasitas dan kemampuan kelompok masyarakat pedesaan. Masyarakat desa perlu mendapatkan pendidikan dan pelatihan yang bisa meningkatkan pemahaman dan keterampilan agar bisa meningkatkan pendapatan dari sumber daya alam di sekitar. Misalnya, para petani tidak hanya memahami cara bertani saja tetapi bisa memasarkan dan mengolah hasil tani menjadi produk lain yang bisa dipasrkan.

Ketiga, meningkatkan kualitas jaring pengaman sosial bagi kelompok masyarakat pedesaan yang tergolong sangat miskin. Stimulus program pemberdayaan perlu digalakkan kembali agar memunculkan kreativitas di luar aktivitas sektor pertanian.

Martin Luther King terkenal dengan ucapannya yaitu you are as strong as the weakest of the people --kita tidak akan menjadi bangsa yang besar kalau mayoritas masyarakatnya masih lemah dan miskin. Ungkapan tersebut dapat dijadikan inspirasi bagi kita semua tentang pentingnya penghapusan kemiskinan dan penanggulangan urbanisasi yang tak terkontrol.

Berurbanisasi merupakan refleksi dari gejala kemandekan ekonomi di desa yang dicirikan oleh sulitnya mencari lowongan pekerjaan dan fragmentasi lahan
Pendek kata, para urban di kota perlu diperdayakan. Jangan diusir pulang ke daerah asal sebelum pemerintah mampu menangani problem kemiskinan desa, meratakan pendidikan, dan menyebarkan pusat industri dan perdagangan hingga pedesaan. Sebab para urban juga berhak berkompetisi di kota dalam rangka meningkatkan taraf hidup.
gacerindo.com

Tidak ada komentar: